The Sweet Sins #1
Kemarin aku ke bookfair di Mandala Wanitatama sama Dwi.
Actually, dihari kedua pameran aku udah kesana sama sang mantan. Ekhm. Tapi
entha kenapa h-2 pameran selesai aku kepikiran pengen kesana lagi. Pulang
kuliah ba’da ashar aku rencana mau kesana di hari terakhir pameran.
“Wi, mau ke pameran buku gak?”
“Dimana?”
“Wanitatama. Aku mau kesana.”
“Yoh ntar aku dianterin ke kos ya pulangnya.”
“Oke deh.” Jawabku sambil keluar dari kelas.
Sampai di tempat parkir gerimis mulai turun. Tadi sewaktu
kuliah aku juga sempet lihat keluar jendela kalau diluar hujan.
“Wahh ayo cepetan, keburu deres.” Sambil tancap gas nerabas
keramaian lalu lintas di jalan seputaran UIN.
Setelah parkirin motor dan nutup jok motor dengan selembar
mantolku, aku dan Dwi lari memasuki gedung pameran. Sambil lari sambil gerutu
sendiri,”Kemarin aku kesini parkir dua ribu. Kok sekarang cuma seribu?!” Tau
gitu datengnya sekarang aja, batinku. Halah apaan sih ni, duit seribu aja
diributin.
Dengan baju yang agak basah kami mulai menjelajahi stand pameran.
“Eh ayok cari Media Pressindo. Siapa tau aku ketemu sama
editor novelku.”
“Iya-iya.. nanti juga ketemu sambil jalan.”
Belum lama Dwi cerita ke aku kalau naskah novel dia diterima
sama penerbit. Cieee. Aku jadi ikut seneng juga. Bangga punya temen seorang
penulis. Semoga aja novelnya emang bagus dan laris muanis.
Stand pertama dipameran yang aku kunjungi adalah Diva Press.
Karena standnya tepat didepan pintu masuk dan standnya gede, mencolok. Waktu
aku datang ke pameran itu di hari kedua pameran, aku sempet mampir ke stand itu
juga tapi lihat-lihat bukunya serampangan, bahkan aku juga nggak nyadar kalau
itu stannya Diva Press. Aku kira stand Diva Press cuma satu, agak kecil
digedung sebelah. Ternyata..
Kembali aku menjelajahi cover-cover novel dijajaran sebelah
timur. Banyak dari novel-novel itu sering aku lihat ditoko buku. Tapi tiba-tiba
tanganku tertuju pada sebuah judul buku yang sempet beberapa bulan lalu aku
incer di toko buku. “The Sweet Sins” dengan cover seorang laki-laki berhidung mancung.
Nah ini dia! Walau aku was-was karena sepertinya buku itu tentang kisah cinta
gay, tapi aku masih gak yakin dan masih sangat terusik sekali dengan
judul novelnya. Dengan ekspektasi yang cukup tinggi sama novel itu akhirnya aku
beli dengan harga Rp 30.000.
Sebenarnya niatku kepameran itu lagi karena pengen cari
Bienvenue Amor dari penerbit Andi. Tapi ternyata setelah nemu standnya Andi kok
gak ada novelnya. Halah.
Ketika pindah ke gedung samping aku ketemu rombongan anak
tampang-tampang ma’had.
Lagi penasaran lihat novel-novel terjemahan yang lagi
dikerubungi rombongan anak-anak tampang ma’had, konsentrasiku terpecah gegara
bahasa mereka yang sok-sok ngearab.
Mungkin ini anak SMPIT Abu Bakar kali ya? Rasa penasaranku
bikin tanganku nyolek salah satu dari anak-anak ma’had-face disebelah
kananku.
“Eh, ka...” belum selesai aku bilang ‘Kalian itu dari SMPIT Abu
Bakar ya?’ mataku jadi terbelalak.
“Ya Allah, Salma?!” spontan kalimat itu meluncur dari
mulutku. “Kok aku nggak disapa sih?!”
“Iya, mbak aku juga baru tau kalau ini embak.”
“Udah dari tadi? Sama ustadzah juga?”
“Belum lama mbak. Nggak sama ustadzah. Ira juga ikut mbak.
Mungkin dia lagi sholat Ashar.” Dia jelasin panjang lebar.
Ternyata rombongan anak-anak tampang ma’had itu adalah
temen-temennya adikku.
“Yaudah ya, Ma. Mbak duluan.”
“Iya, mbak.”
Aku nyusul Dwi yang lagi ada di stand Gramedia buat nyari
novelnya Ilana Tan. Tiba-tiba aja ada perempuan berjilbab yang deketin aku.
“Mbak, minta uang.” Ucap perempuan yang tak lain adalah
adikku.
“Opo?”
“Mbak bawa duit enggak?” tanyanya sambil nyengir.
Akhirnya dia aku kasih duit kembalian aku beli novel tadi.
“Nih.”
Selesai makan bakso dengan kuah berminyak nan tawar binti
mahal di foodcourt pameran, aku dan Dwi langsung cus ke kosan Dwi. Hujannya
deres banget. Jadi aku putuskan untuk transit di kos Dwi sebelum melanjutkan
perjalanan pulang.
Mulai dah aku buka plastik novel yang baru aku beli lalu
berdebat dengan Dwi tentang Lee Shin-nya Princess Hour. Dia pikir Lee Shin
alias Joo Ji Hoon itu juga pemain di Moon that Embrace the Sun. Aku sendiri
belum lihat Moon that Embrace the Sun. Pengen selesaiin novelnya dulu baru
lihat dramannya.
“Ini loo. Mirip to?!” sambil nunjukin Moon that Embrace the
Sun yang diputer di Windows Media Player.
“Masak sih?”
“Ya ampun. Bukan?! Itu tu bukan Lee Shin. Bukan Joo Ji Hoon!”
aku yakin 85%-90% kalau itu bukan Shin.
“Udahlah, percaya sama aku itu tuh bukan Shin. Aku tuh
ngerti, aku tuh hafal sama cinta matiku si Lee Shin. Jadi aku nggak mungkin
salah.”
“Ahh tapi mirip banget.”
“Yaudah googling dah. Pasti aku yang bener. Nanti yang salah
digebukin ya.. Haha” Perdebatan masih berlanjut panjang sembari Dwi googling
lewat hape dan aku mulai bolak-balik halaman The Sweet Sins.
“Song Jae Rim nama aslinya. Tapi kok mirip banget ya?” kata
Dwi yang sudah menemukan pencerahan tentang kembarannya Shin. Padahal juga udah
aku bilang kalau dia bukan Shin karena jelas-jelas auranya beda. Kalau Shin
aura cool-nya kelihatan banget. Bulu kudukku bisa mendeteksi aura coolnya dia.
Haha.
“Tu kan bukan Shin! Orang Korea kan pada oplas, jadinya ya wajar
banyak yang mirip.”
"Oplas tu apa?" tanyanya polos.
Spontan aku ngakak.
"Oplas tu apa?" tanyanya polos.
Spontan aku ngakak.
Sepertinya dia masih nggak terima kalau itu bukan Shin aka Ji Hoon.
Hoho.... aku pun beralih buat baca novel baruku.
Baru baca beberapa halaman depan,”Gilak!”
“Edan!!”
“...”
“Ya ampun!”
“Ngopo sih?” tanya Dwi penasaran.
Aku sendiri juga masih penasaran dengan kelanjutan isi novel
The Sweet Sins. Cerita awalnya aja udah bikin aku teriak-teriak begitu. Meski ada beberapa hal yang aku rada nggak srek tapi ada
dorongan pengen lanjutin baca. Nanti dah, lanjutin dirumah.
Leave a Comment