Seminar Nasional Bersama Taufik Ismail
Kamis, 27 Oktober 2011 pukul 09.00-10.40 saya punya jadwal kuliah Piano 1. Tapi hari itu saya lebih memilih untuk tidak mengikuti kuliah. Hehe…, itu ketika kalinya saya absen kuliah. Ya, hari itu salah lebih memilih menghadiri Seminar Nasional Kebudayaan dengan pembicara sastrawan terkenal bapak Tufik Ismail. Rasa penasaran saya mengenai sastrawan yang terkenal tersebutlah yang akhirnya membuat saya memutuskan lebih memilih menghadiri seminar dibanding kuliah. Eitzz, tapi saya ndak ngasal bolos kuliah Piano 1, mungkin kalau mata kuliah lain yang saya agak kesulitan ngejar ya saya usahakan ndak bolos.
Nah! Selain pak Taufik Ismail, seminar dihadiri pula anggota DPD Sleman Bapak Endri Nugraha. Hari itu saya datang terlambat(duh, jangan ditiru ya), was-was bakal dapet tempat duduk dibelakang. Sampai disana masih acara hiburan pementasan tari Saman. Bagus deh, pengen rasanya berada dipanggung menjadi salah satu penarinya. Hehe, mimpi. Hem.. mungkin suatu saat. Lanjut ceritanya, nah bener deh tempat duduk membludak, udah pada duduk ampe belakang-belakang. Tapi masihhh ngarep duduk didepan dengan keterlambatan datang saya.
Saya langsung jalan ke depan. Nahloh, parah deh barisan kursi peserta perempuan yang paling depan kosong mlompong. Pede aja saya langsung duduk tepat dibelakang deretan kursi tamu undangan. Nahloh kebiasaan orang Indonesia nih milih tempat duduk yang belakang-belakang, depan kosong. Yehay!! Alhamdulillah saya beruntung, batinku. Lama-kelamaan deretan tempat saya duduk mulai terisi juga.
Selesai pertunjukan tari Saman, lalu ikrar sumpah pemuda(karena mendekati hari sumpah pemuda_ yang dipimpim oleh mas Tomi. Lali diteruskan dengan sambutan. Pertama oleh mas Tomi(lagi. Hehe eksis ya mas…), lalu mbak Nur Laela(Ketua Komunitas Studi Budaya), dan yang terakhir Bapak Dekan FBS UNY, pak Zamzani.
Lanjut… acara inti oleh bapak Taufik Ismail dan bapak Endri Nugraha dengan dimoderatori oleh mbak Olvy. Saya terharu deh menghadiri acara tersebut, rasanya gimana… gitu ketemu sama orang pinter. Awal yang dibicarakan oleh pak Taufik mengenai perbandingan baca buku dan menulis karangan di SMA 13 Negara. Melihat penjelasan data yang beliau peroleh melalui penelitiannya sendiri, saya melongo. Kok ngeri ya, Indonesia parah banget. Beliau melakukan penelitian pada Juli-Oktober 1997.
Berikut datanya
No Asal Sekolah Buku Wajib Nama SMA/Kota Tahun
1 SMA Thailand Selatan 5 Judul Narathiwat 1986-1991
2 SMA Malaysia 6 Judul Kuala Kangsar 1979-1980
3 SMA Singapura 6 Judul Stamford College 1982-1983
4 SMA Brunei Darussalam 7 Judul SM Melayu 1 1966-1969
5 SMA Rusia Sovyet 12 Judul Uva 1980-an
6 SMA Kanada 13 Judul Canterbury 1992-1994
7 SMA Jepang 15 Judul Urawa 1969-1972
8 SMA Internasional, Swiss 15 Judul Jenewa 1991-1994
9 SMA Jerman Barat 22 Judul Wanne-Eickel 1966-1975
10 SMA Perancis 30 Judul Pontoise 1967-1970
11 SMA Belanda 30 Judul Middleburg 1970-1973
12 SMA Amerika Serikat 32 Judul Forest Hills 1987-1989
13 AMSHindi Belanda-A 25 Judul Yogyakarta 1939-1942
AMS Hindia Belanda-B 15 Judul Malang 1929-1932
SMA Indonesia 0 Judul Dimana Saja 1950-1997
Data tersebut dengan kriteria:
1. Tercantum di kurikulum
2. Disediakan di perpustakaan sekolah
3. Dibaca sampai tamat
4. Siswa menulis tentang buku tersebut
5. Diuji oleh pengajarnya
Dengan kriteria tersebut berarti SMA Indonesia nol buku berlaku selama 47 tahun(1950-1997) dengan pengecualian SMA tertentu saja. Nah yang saya rasakan ketika masih SMA(Lulus tahun 2011) kok ya masih sama dengan data tersebut. Seingat saya waktu itu kami kelas 3 SMA ditugaskan membaca satu buku pilihan sendiri dan membuat sinopsisnya. Itu pun tidak utuh mencapai kriteria ke-5(Diuji oleh pangajarnya). Beberapa dari kami mempresentasikan sinopsis yang telah dibuat didepan kelas(yah.. saya anggap itu tahap ujinya). Namun tetap saja hanya sebagian dari kami. Wal hasil bisa dikatakan nol buku Ya…guru bahasa Indonesia saya pernah menargetkan kami harus membaca sekian buku. Tapi sepertinya tidak ada tindak lanjut serius baik dari beliau maupun dari kami.
Data perbandingan kewajibdan menulis karangan juga disampaikan oleh pak Taufik, dan itu masih 11-12 parahnya dengan data dalam tabel diatas. Jaelah, miris ya.
Padahal ya… dari membaca kita bisa nambah ilmu, wawasan. Dari menulis kita juga bisa belajar banyak hal. Oh sampai sini toh tingakat pengetahuan saya, berbagai masalah akan muncul ketika menulis, dan dari situ kita akan belajar menyelesaikan masalah-masalah dan insya Allah bertambah pula ilmu kita. Menyenangkan bukan?
Menulis tidak harus menulis hal yang “berat” yang ringan-ringan saja dulu. Kalau kata pak Taufik formula oke dalam menulis itu diary. Nah, apa aja sih poin penting buat ditulis ketika “berdiari-ria”
Pertama… Catatan peristiwa. Hari ini saya bertemu dengan sastrawan yang oke punya, bapak Taufik Ismail.
Kedua, catatan perasaan. Uah, seneng deh rasanya bertemu dengan beliau. Sosok humanis yang ramah dan rendah hati banget.
Gausah buanyak-buanyak, one day one page asal kontinyu. Yuk mariii
Ga usah lah banget-banget mikirin tata bahasa. Daripada pusing-pusing malah nggak jadi keluar apa yang kita ingin ungkapkan… eh pusing dah mikir tata bahasa. Let it flow aja.
Oye, dari tadi belum ngomongin soal pak Endri. Key dahhh, beliau selaku pejabat nih, tentunya ngomongin undang-undang yang ada kaitannya sama budaya. Selain itu juga ngomongin tentang hak paten. Kata beliau, dari segi anggaran pemerintah tidak terlalu berpihak pada kebudayaan. Misal anggaran pemerintah itu lebih cenderung dialirkan kepembangunan fisik.(Nah… nggak heran pak perpus disekolah-sekolah minim banget bukunya. Hikz.) Selain itu belau juga berpesan supaya membentuk komunitas baik yang dilegalkan. Iya supaya lebih formal gitu, pemerintah bisa menganggarkan buat komunitas/organisasi tersebut dengan prosedur yang telah ditentukan. Kita sebagai warga Indonesia, khususnya kaum muda yang kreatif…. Banyak melakukan eksperimen…ini itu dituntuk proaktif buat mempatenkan karyanya. Kan sayang kalau karyanya bagus-bagus tapi hak paten belum ada tar diaku-aku orang ato negara lain gimana? Seperti halnya kasus-kasus yang marak di televisi. Yah tau sendiri lah…. Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, dsb. Walau masih tahap mengklaim, TAPI udah tahap AWAS toh. Jamu brotowali, jamu penambah nafsu makan yang warnanya item, biasanya anak kecil kalau nggak mau makan dicekoki pakek jamu itu(pengalaman masa kecil), itu yang punya hak paten siapa? Jepang. Nahloh….
Nah! Selain pak Taufik Ismail, seminar dihadiri pula anggota DPD Sleman Bapak Endri Nugraha. Hari itu saya datang terlambat(duh, jangan ditiru ya), was-was bakal dapet tempat duduk dibelakang. Sampai disana masih acara hiburan pementasan tari Saman. Bagus deh, pengen rasanya berada dipanggung menjadi salah satu penarinya. Hehe, mimpi. Hem.. mungkin suatu saat. Lanjut ceritanya, nah bener deh tempat duduk membludak, udah pada duduk ampe belakang-belakang. Tapi masihhh ngarep duduk didepan dengan keterlambatan datang saya.
Saya langsung jalan ke depan. Nahloh, parah deh barisan kursi peserta perempuan yang paling depan kosong mlompong. Pede aja saya langsung duduk tepat dibelakang deretan kursi tamu undangan. Nahloh kebiasaan orang Indonesia nih milih tempat duduk yang belakang-belakang, depan kosong. Yehay!! Alhamdulillah saya beruntung, batinku. Lama-kelamaan deretan tempat saya duduk mulai terisi juga.
Selesai pertunjukan tari Saman, lalu ikrar sumpah pemuda(karena mendekati hari sumpah pemuda_ yang dipimpim oleh mas Tomi. Lali diteruskan dengan sambutan. Pertama oleh mas Tomi(lagi. Hehe eksis ya mas…), lalu mbak Nur Laela(Ketua Komunitas Studi Budaya), dan yang terakhir Bapak Dekan FBS UNY, pak Zamzani.
Lanjut… acara inti oleh bapak Taufik Ismail dan bapak Endri Nugraha dengan dimoderatori oleh mbak Olvy. Saya terharu deh menghadiri acara tersebut, rasanya gimana… gitu ketemu sama orang pinter. Awal yang dibicarakan oleh pak Taufik mengenai perbandingan baca buku dan menulis karangan di SMA 13 Negara. Melihat penjelasan data yang beliau peroleh melalui penelitiannya sendiri, saya melongo. Kok ngeri ya, Indonesia parah banget. Beliau melakukan penelitian pada Juli-Oktober 1997.
Berikut datanya
No Asal Sekolah Buku Wajib Nama SMA/Kota Tahun
1 SMA Thailand Selatan 5 Judul Narathiwat 1986-1991
2 SMA Malaysia 6 Judul Kuala Kangsar 1979-1980
3 SMA Singapura 6 Judul Stamford College 1982-1983
4 SMA Brunei Darussalam 7 Judul SM Melayu 1 1966-1969
5 SMA Rusia Sovyet 12 Judul Uva 1980-an
6 SMA Kanada 13 Judul Canterbury 1992-1994
7 SMA Jepang 15 Judul Urawa 1969-1972
8 SMA Internasional, Swiss 15 Judul Jenewa 1991-1994
9 SMA Jerman Barat 22 Judul Wanne-Eickel 1966-1975
10 SMA Perancis 30 Judul Pontoise 1967-1970
11 SMA Belanda 30 Judul Middleburg 1970-1973
12 SMA Amerika Serikat 32 Judul Forest Hills 1987-1989
13 AMSHindi Belanda-A 25 Judul Yogyakarta 1939-1942
AMS Hindia Belanda-B 15 Judul Malang 1929-1932
SMA Indonesia 0 Judul Dimana Saja 1950-1997
Data tersebut dengan kriteria:
1. Tercantum di kurikulum
2. Disediakan di perpustakaan sekolah
3. Dibaca sampai tamat
4. Siswa menulis tentang buku tersebut
5. Diuji oleh pengajarnya
Dengan kriteria tersebut berarti SMA Indonesia nol buku berlaku selama 47 tahun(1950-1997) dengan pengecualian SMA tertentu saja. Nah yang saya rasakan ketika masih SMA(Lulus tahun 2011) kok ya masih sama dengan data tersebut. Seingat saya waktu itu kami kelas 3 SMA ditugaskan membaca satu buku pilihan sendiri dan membuat sinopsisnya. Itu pun tidak utuh mencapai kriteria ke-5(Diuji oleh pangajarnya). Beberapa dari kami mempresentasikan sinopsis yang telah dibuat didepan kelas(yah.. saya anggap itu tahap ujinya). Namun tetap saja hanya sebagian dari kami. Wal hasil bisa dikatakan nol buku Ya…guru bahasa Indonesia saya pernah menargetkan kami harus membaca sekian buku. Tapi sepertinya tidak ada tindak lanjut serius baik dari beliau maupun dari kami.
Data perbandingan kewajibdan menulis karangan juga disampaikan oleh pak Taufik, dan itu masih 11-12 parahnya dengan data dalam tabel diatas. Jaelah, miris ya.
Padahal ya… dari membaca kita bisa nambah ilmu, wawasan. Dari menulis kita juga bisa belajar banyak hal. Oh sampai sini toh tingakat pengetahuan saya, berbagai masalah akan muncul ketika menulis, dan dari situ kita akan belajar menyelesaikan masalah-masalah dan insya Allah bertambah pula ilmu kita. Menyenangkan bukan?
Menulis tidak harus menulis hal yang “berat” yang ringan-ringan saja dulu. Kalau kata pak Taufik formula oke dalam menulis itu diary. Nah, apa aja sih poin penting buat ditulis ketika “berdiari-ria”
Pertama… Catatan peristiwa. Hari ini saya bertemu dengan sastrawan yang oke punya, bapak Taufik Ismail.
Kedua, catatan perasaan. Uah, seneng deh rasanya bertemu dengan beliau. Sosok humanis yang ramah dan rendah hati banget.
Gausah buanyak-buanyak, one day one page asal kontinyu. Yuk mariii
Ga usah lah banget-banget mikirin tata bahasa. Daripada pusing-pusing malah nggak jadi keluar apa yang kita ingin ungkapkan… eh pusing dah mikir tata bahasa. Let it flow aja.
Oye, dari tadi belum ngomongin soal pak Endri. Key dahhh, beliau selaku pejabat nih, tentunya ngomongin undang-undang yang ada kaitannya sama budaya. Selain itu juga ngomongin tentang hak paten. Kata beliau, dari segi anggaran pemerintah tidak terlalu berpihak pada kebudayaan. Misal anggaran pemerintah itu lebih cenderung dialirkan kepembangunan fisik.(Nah… nggak heran pak perpus disekolah-sekolah minim banget bukunya. Hikz.) Selain itu belau juga berpesan supaya membentuk komunitas baik yang dilegalkan. Iya supaya lebih formal gitu, pemerintah bisa menganggarkan buat komunitas/organisasi tersebut dengan prosedur yang telah ditentukan. Kita sebagai warga Indonesia, khususnya kaum muda yang kreatif…. Banyak melakukan eksperimen…ini itu dituntuk proaktif buat mempatenkan karyanya. Kan sayang kalau karyanya bagus-bagus tapi hak paten belum ada tar diaku-aku orang ato negara lain gimana? Seperti halnya kasus-kasus yang marak di televisi. Yah tau sendiri lah…. Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, dsb. Walau masih tahap mengklaim, TAPI udah tahap AWAS toh. Jamu brotowali, jamu penambah nafsu makan yang warnanya item, biasanya anak kecil kalau nggak mau makan dicekoki pakek jamu itu(pengalaman masa kecil), itu yang punya hak paten siapa? Jepang. Nahloh….
Leave a Comment